Jodoh dan bobot, bibit, bebet
Duh Gusti... Kemana lagi saya harus berkeluh-kesah kalau bukan kepada-Mu. Gusti kan yang menciptakanku, ya sudah jadi seyogyanya kalo aku juga berkeluh-kesah kepada-Mu. Ngga papa to Gusti?
Sebenarnya saya malu pada-Mu. Lha, Gusti saja tak kawin dan tak berkeluarga, kok saya yang cuma hamba malah minta itu. Memang saya akui Gusti itu top markotop. Tapi saya tak setabah Gusti, saya butuh teman untuk bisa tetap waras di Jakarta ini.
Gusti, dalam dua tahun terakhir, kedua orang tua sering mengajak saya berbicara tentang keluarga dan perkawinan.
Bapak-Ibu selalu berkata: "Karena perkawinan itu untuk memadukan dua manusia berbeda untuk selamanya, maka carilah wanita yang baik, saleh, taat-mengabdi, berketurunan baik dll. Kalo tidak begitu, maka kamu hanya akan mendapati kesengsaraan selama hidupmu, bahkan diakhirat kelak. Kamu akan menyesal".
"Oleh karena itu, dia harus lah wanita yang memiliki bobot, bibit dan bebet yang sesuai denganmu". Bobot berarti kualitas, kadang diyakini bermakna kekayaan. Bibit berarti kualitas fisik, induk semang, lebih ke fisik. Bebet berarti asal-usul, silsilah, trah. Bebet juga sering disalah-pahami menjadi kasta, tingkatan sosial keluarga.
"Perkawinan itu menyatukan dua keluarga besar, bukan hanya kalian berdua."
Intinya, saya harus mendapatkan calon yang pas untuk saya, "terlebih untuk keluarga saya".
Gusti, Berbicara tentang "terlebih untuk keluarga", terus-terang saya belum pernah mendapatkan nilai bagus di mata ortu terutama Ibu. Dari semua teman wanita yang pernah akrab dengan saya, yang entah bagaimana caranya Ibu selalu tahu, Ibu belum selalu mentertawakan pilihan saya.
Gusti, saya sudah bolak-balik buka kitab suci-Mu. Sampai saat ini saya belum pernah menemui yang mirip-mirip dengan bobot, bibit dan bebet itu.
Latar belakangnya begini, Gusti
Gusti, maaf saya hendak bercerita sedikit. Bukannya meremehkan ilmu-Mu, bukan. Sungguh! Supaya saya lebih lega saja. Cerita awalnya begini.
Saya dilahirkan dalam lingkungan pesantren yang sangat kental bernuansa NU tradisionalis. Di depan rumah berdiri sebuah pesantren kecil, sebagian besar santrinya laki-laki. Berjarak sekitar satu kilometer ke utara, terdapat pesantren lain yang mayoritas santrinya perempuan. Belum lagi dua di timur, dua di barat dan satu lagi di selatan. Meski semuanya hanya pesantren-pesantren kecil.
Menurut cerita para orang tua, saya memiliki garis keturunan yang baik. Dari jalur bapak, katanya para leluhur saya adalah orang-orang pemerintahan. Sedangkan dari jalur ibu, katanya lagi, saya memiliki darah kyai dan pedagang.
Gusti, pada perkembangannya karena kami hidup dalam lingkungan spiritual yang kuat, orang tua saya cenderung melihat bobot, bibit, bebet yang bersifat kesantri-santrian.
Celakanya, dalam ukuran Bangsari, saya dianggap cukup cerdas dibanding teman-teman sebaya. Karena itu saya di sekolahkan dan dididik cenderung nasionalis-umum, dibanding santri-tradisionalis, meski basic kesantrian saya masih melekat. Inilah yang kemudian menjadi masalah bagi saya.
Sekolah umum menjadikan saya cenderung beraliran plural, tak terkecuali dalam masalah calon mbokne anak-anak itu.
Gusti, aku minta bantuan-Mu
Gusti, mereka maunya saya dapat calon simbok yang kuat kesantriannya. Yang tahu ilmu fikih, bisa baca arab gundul dan tentu saja keluarganya berdarah putih. Itu kan susah banget carinya di Jakarta ini Gusti... Selepas SMP saja, saya sudah harus merantau. Mana semoat cari yang begitu?
Saya maunya sederhana saja kok. Yang kalo saya lihat seperti sabda-Mu "tashurrun an naadhirin", enak dilihat dan "saa ighootun li asy syaribiin" alias enak diminum. Apanya? Alaah, kaya gitu kok pake nanya. Gusti pasti tahu kan? :D Dan syarat terakhir, dia harus dekat dari kampung halaman, bahkan kalo bisa tetangga sendiri. Biar gampang, murah dan efisien saat mudik.
Duh Gusti, rasanya kok lebih sulit hidup dengan filosofi daripada firman-Mu. Katanya semua manusia sama dan sederajat. Tapi mengapa harus ada bobot, bibit dan bebet yang menyusahkan saya itu?
Tolongin saya Gusti, please... Ntar keburu berkarat dimakan zaman, saya bisa sengsara seumur hidup. Duh!