Mumpung masih dia area Semanggi, saya ajak Kang Bahtiar ke supermarket di lantai bawah. Maksud saya sekedar melihat-lihat, barangkali ada yang menarik. Paling tidak cuci mata murah meriah.
Saya membeli sekilo jeruk santang yang ukurannya seupil-upil itu. Kang Bahtiar membeli satu liter susu segar coklat, sepaket yakult, seikat bengkoang dan beberapa perlengkapan mandi. Setelah itu, kami pulang melewati area cafewalk tempat kami berkumpul sebelumnya.
Ternyata, kami jumpai lagi Mita dan Yuniar sedang mengantri di depan sebuah mesin penarikan uang. Rupanya mereka juga sehabis jalan-jalan di dalam plasa.
Segera kami terlibat dalam perbincangan lagi. Seperti pada perbincangan sebelumnya, perbincangan kali ini pun ndladrah kemana-mana tanpa fokus. Sampai akhirnya tentang topik ini.
"Eh, kamu tinggal dimana sih?", tanya Yuniar.
"Di kebon kacang. Seberang Sarinah Thamrin, belakang PBB", jawab saya.
"Serumah?", tanya Yuniar lagi.
"Ngga cuman serumah, sekamar malah", timpal Kang Bahtiar.
"Wah, jangan-jangan..."
"Oh, tentu... Cinta kan universal, tidak mengenal jenis kelamin!", Canda Kang Bahtiar.
"Beneran nih? Temen gue lagi minta di cariin pacar. Namanya Paulus, tapi panggilannya Paula. Gimana, mau ngga?", Yuniar meminta klarifikasi saya.
"Hus! Aku ini normal. Ngga ada minat begituan",
"Dia itu tuh TeOPe BeGeTe deh. Orangnya stylis, wangi, baik hati dan yang terpenting, dia tajir. Sempurna kan?", dia masih saja bersemangat berpromosi.
"Enak aja! I am 100% normal", saya meyakinkan.
"Yun, coba aja biar tahu dia normal apa ngga. Gimana?", Kang Bahtiar berseloroh.
"Soalnya, gue lihat kamu tuh punya bakat. Meski lelaki, kamu tuh cantik. Gerakanmu lembut. Coba Mit, Mas Bah, caranya berdiri saja cukup meyakinkan. Iya to?", kali ini dia meminta pendapat Mita dan Kang Bahtiar. Yang dimintai pendapat hanya tertawa saja. (Mita yang sedang sakit tenggorokan malah jarang bicara.)
"Ngawur!", elakku.
"Kalo memang engga, kenapa belum punya pacar juga?"
Saya pun kehabisan kata-kata. Aduh biyung, aduh Gusti... Paringono bojo ayu...